Home > Sastra

Bukan Pakai Senjata, Khomeni Berjihad Lawan Inggris dengan Gelorakan Bahasa Esperanto

Cara Khomeini melawan kolinial Inggris bukan dengan senjata tapi bahasa

Bahasa Arab sendiri yang selama ini dianggap sebagai lingua franca umat Islam dan bahasa suci umat Islam, tidak mudah dipelajari lantaran bahasa Arab Al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab Fusha, yakni bahasa Arab Klasik dialek suku Quraish (sukunya Nabi Muhammad SAW) yang kemudian dikembangkan menjadi Modern Standard Arabic, bahasa ini hanya digunakan untuk acara-acara resmi, khutbah di Masjid/Gereja, berita, film-film sejarah Islam, kartun, tujuan akademik, dan tidak digunakan untuk percakapan sehari-hari, bahasa Arab Fusha bukanlah bahasa ibu bagi orang-orang Arab.

Percakapan sehari-hari menggunakan bahasa Arab Amiyah (bahasa Arab Pasar) yang dialeknya beda total di setiap negara, bahkan dalam banyak kasus penutur bahasa Arab Amiyah tidak saling memahami apabila dialog dengan negara lain, contoh penutur bahasa Arab di Arab Saudi dengan di Libya. Masalahnya bahasa Amiyah sendiri menjadi bahasa ibu bagi banyak orang Arab, apabila ada orang berbicara menggunakan bahasa Arab Fusha dianggapnya terlalu formal dan tidak lazim.

Bahkan kebanyakan lagu-lagu Arab hingga sinetron Arab menggunakan bahasa Arab Amiyah. Mungkin saja perpecahan antarnegara Arab terjadi lantaran banyak orang-orang Arab yang menggunakan bahasa Amiyah, ketimbang Fusha sehingga mereka tidak saling mengerti satu sama lain.

Pada tahun 1981 Imam Khomeini mengeluarkan fatwa soal bahasa Esperanto, dalam fatwa ini seorang Muslim halal bila ingin belajar bahasa Esperanto dan bahasa Esperanto memiliki fungsi positif sebagai jembatan komunikasi antar manusia di dunia dan juga antar umat Islam.

Fatwa ini dikeluarkan karena ada kekhawatiran di beberapa orang soal bahasa Esperanto, lantaran Dr. Zamenhof seorang Yahudi dan takut apabila Esperanto ada kaitannya dengan zionisme. Adanya fatwa Imam Khomeini membantah semua keraguan itu, bahkan pemerintah Revolusi Islam yang belum lama berdiri langsung menerbitkan Al-Qur’an terjemahan bahasa Esperanto. Bahkan di Seminari Qom, tempat studi agama paling prestisius di Iran mengeluarkan mata pelajaran bahasa Esperanto untuk dipelajari murid-muridnya. Para ulama, dosen, dan guru di Iran kemudian bergegas mempelajari bahasa Esperanto.

Di Iran sendiri hingga sekarang bahasa Esperanto tidak pernah menjadi bahasa dominan, paling tidak jumlahnya cukup banyak bila dibandingkan dengan negara-negara Islam lainnya karena adanya support dan pendanaan dari negara kepada Asosiasi Bahasa Esperanto Iran. Kendati demikian bahasa Esperanto kemudian mendapatkan tantangan di Iran.

Hal itu karena banyak penuturnya sebelum Revolusi Iran 1979 adalah penganut Baháʼí yang dilarang di Iran pasca-revolusi karena dianggap sebagai antek dan kaki tangan Israel, serta dianggap sesat lagi menyesatkan bagi banyak ulama di Iran. Sehingga banyak orang yang takut belajar bahasa Esperanto karena takut dianggap sebagai penganut agama Baháʼí.

Meski ada kekhawatiran ini, bahasa Esperanto tetap hidup di Iran dan pemerintah Iran tetap mendukung penyebarluasan bahasa Esperanto. Banyak esperantist (sebutan untuk penutur bahasa Esperanto) dari Iran yang bisa menghadiri konferensi internasional bahasa Esperanto di berbagai negara dengan menggunakan dana dari pemerintah mereka. Bahkan media berbahasa Esperanto pun hadir di Iran, tentu dengan dukungan negara.

Asosiasi Esperanto Iran pun turut aktif bekerjasama dengan asosiasi serupa dari berbagai negara, termasuk Asosiasi Esperanto Indonesia. Nyala api jihad Imam Khomeini untuk menggantikan bahasa Inggris sebagai bahasa pergaulan dunia dengan bahasa Esperanto, tidak pernah padam di Iran. Sebab Imam Ali Khamene’i dan para ulama di Iran, tetap mewarisi semangat jihad dan idealisme Imam Khomeini.

× Image