Home > Sejarah

Politik Pakai Sepatu di Indonesia Era Kolonial

Mencari jejak munculnya kesadaran bersepatu di masyarakat Batavia

Politik Etis, Sepatu, dan Panjat Sosial

Desember 1901 Belanda mengumumkan pemberlakukan Politik Etis di Hindia Belanda. Dalam politik etis terdapat gelijkstelling, yaitu kebijakan penyetaraan kewarganegaraan atau strata sosial dengan Eropa, yang memungkinkan etnis-etnis lain mendapatkan privilese yang sama dengan Eropa. Syaratnya, mengikuti kehidupan dan mendapatkan pendidikan Barat.

Tentu saja, perubahan tidak terjadi serta-merta tapi perlahan. G. Kolff & Co, dalam Inlandsch Hoofd Preanger, menulis hanya sedikit pribumi yang mengenakan sepatu pada dekade pertama politik etis. Yang sedikit itu adalah golongan atas pribumi; terutama keluarga penguasa daerah.

Bangsawan, yang sebelum politik etis mengenakan selop menyerupai jutti dan balgha -- yang berasal dari Asia Selatan dan Timur Tengah -- tiba-tiba pakai sepatu. Kelas menengah pribumi non-bangsawan ikutan pakai sepatu sebagai upaya panjat sosial. Mereka menjadikan sepatu sebagai 'tiket' untuk mendapatkan status sosial di masyarakat pribumi.

Sepatu, menurut Henk Schulte Nordholt dalam The State on the Skin: Clothes, Shoes, and Neatness in (Colonial) Indonesia, digunakan sebagai simbol kedekatan seseorang dengan orang-orang Belanda dan pemukim Belanda non-Eropa.

Dalam bahasa yang lain, sepatu menjadikan penggunanya memiliki status sosial, bagian dari komunitas superior yang muncul di Batavia pada paruh pertama abad ke-20. Sepatu menjadikan penggunanya seolah mendapatkan hak-haknya dalam tatanan masyarakat. Dalam situasi itu muncul istilah Like all God’s children got shoes, got structure”.

Menggunakn teori politik keseharian, atau politics of everyday life, diperoleh penjelasan bahwa kebiasaan bersepatu di kalangan pribumi adalah sesuatu yang dipraktikan dari atas dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

× Image