Home > Sejarah

Politik Pakai Sepatu di Indonesia Era Kolonial

Mencari jejak munculnya kesadaran bersepatu di masyarakat Batavia

Jean Gelman Taylor, mengutip catatan perjalanan pelancong Jacob Haafner pada abad ke-18, menulis apa yang dilakukan mardijker adalah keputusan politik menjaga identitas. Sepatu, menurut Taylor, menjadi pembeda mardijker dengan orang Portugis sebagai mantan tuan.

Sepanjang abad ke-16 sampai 18, VOC dan pemerintah Hindia-Belanda mengkategorikan mardijker sebagai Portugis. Awal abad ke-19, pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan mardijker dari kategori Portugis dan memberinya status pribumi. Kalau pun ada yang membedakan, mungkin pada agama. Maka, mardijker sering disebut pribumi Kristen.

Pilihan mardijker untuk tak bersepatu, karena ingin membedakan diri dengan mantan tuan Portugis, disebut-sebut sebagai alasan pemerintah Hindia-Belanda menjebloskan mereka ke kategori pribumi. Sebab, saat itu, hanya ada dua kelompok masyarakat tak bersepatu; pribumi dan mardijker.

Orang Arab dan Tionghoa, meski tak bersepatu, mengenakan selop -- alas kaki dengan penutup di bagian depan. Kaum bangsawan Jawa juga mengenakan selop.

Dampak serius dari kebijakan ini adalah kata mardijker perlahan-lahan hilang. Mardijker perlahan tapi pasti sepenuhnya berintegrasi ke dalam masyarakat pribumi, seperti yang terlihat dalam kasus De Papanger -- komunitas asal Filipina yang turun temurun menjaga balai kota Batavia -- dan menjadi Muslim.

× Image