Home > Sejarah

Tom Pires dan Kisah Lima Abad Bandar Pariaman

Pelaut Eropa legendaris pernah mendatar di Bandar Parimana pada tahun 1522

Tidak heran, apabila Kota Pariaman memenuhi aspek arsitektur tata kota moderen, sekalipun mulai banyak bagian kota yang dihancurkan dan dihilangkan sejarahnya, seperti Kampung Nias, Kuburan Belanda dan termasuk arsitektur India, Arab, Tionghoa dan Jepang. Bahkan arsitektur Kota Pariaman jauh lebih maju daripada Kota Padang yang hanyalah sebagai “Kota Bandar” atau “Kota Pasar”. Masyarakat Kota Pariaman sudah lama menjadi bagian dari masyarakat kota, dibandingkan dengan masyarakat Kota Padang yang hanya menjadi masyarakat pasar.

Sekitar 18 tarekat agama Islam hidup di Kota Pariaman. Hanya saja, model pembangunan yang sama sekali tanpa berwawasan sejarah, membuat kota kecil yang indah ini – semacam Venesia from The Sumatera – dengan aliran sungai, pelabuhan, serta pulau-pulaunya yang mudah dijangkau, telah menghilangkan wajah asli kota ini sebagai model terbaik yang hadir di Timur. Bekas anyaman berbagai kebudayaan dunia menjadi hilang, dimakan keserakahan para penguasa yang hanya sekadar membangun guna mendapatkan anggaran sesaat.

Salah satu kehilangan itu adalah digantikannya Tugu Layar dengan Tugu Tabuik di pusat Kota Pariaman. Padahal, tatkala Tugu Layar itu masih berdiri, terdapat kalimat indah yang diukir di layar itu, yakni:

“Panakiak pisau sirauik, ambiak galah batang lintabuang, silodang ambiak ka niru; nan satitiak jadikan lauik; nan sakapa jadikan gunuang; alam takambang jadikan guru.”

(Penekuk pisau siraut , ambil galah batang lintabung , silodang ambil ke niru ; setitik jadikan laut, sekepal jadikan gunung, alam terkembang jadikan guru).

Padahal, kalimat indah itulah yang terpatri dalam setiap dada pelajar-pelajar asal Kota Pariaman, ketika merantau guna mencari ilmu. Dari kalimat itu, lahir berbagai generasi emas asal Pariaman yang menjadi tokoh-tokoh nasional, baik di bidang pendidikan, kedokteran, hukum, bisnis, kelautan, agama, hingga politik dan pemerintahan. Hilangnya Tugu Layar adalah salah satu titik nadir dari “Robohnya Piaman Kami”, ketika sejumlah simbol baru diusung, tanpa pengetahuan yang cukup.

Tulisan singkat ini tentu tidak ingin masuk terlalu dalam. Jika hendak menjadikan Kota Pariaman sebagai Kota Pelabuhan yang benar-benar eksotik, sekalipun mungil – hanya 1/12 dari Kabupaten Padang Pariaman --, kembalikan kota ini sebagai kota yang penuh dengan sejarah, budaya, hingga keanekaragaman suku bangsa.

Jakarta, 2 Juli 2024. Tulisan ulangan .

× Image