Home > Budaya

Mengejar Taliban Hingga ke Lahore

Taliban itu sebenarnya hanya siswa pendidikan Islam (santri).

Kami bersiap berangkat. Namun tiba-tiba di dekat kami masuk tiga orang bercambang dan berbaju khas ghamis Pakistan. Dia saat itu riuh berbicara dengan bahasa Urdu. Kami pun terdiam sembari mengingat begitu banyak kata yang akrab ditelinga yang terdengar di percakapan riuh itu, seperi kata ‘Aca, baba, nehi, putra, dan lainnya. Dan tanpa dinyana tiba-tiba mereka menyapa kami.

‘’Hai man, Where are you from? Kuala Lumpur?.’’ tanyanya

‘’No, Indonesia,’’ tukasku.

“Hah Jakarta? Ya ya ya. Merdeka ha ha ha’’ jawabnya.Entah mengapa kata ‘Merdeka’ diucapakannya. Tapi kemudian dia berkata bila kata Merdeka itu sama saja dengan bahasa Sansekerta: Mahardika.

‘’Ya saya beberapa kali ke Jakarta, Ke Pelabuhan Ratu, Parang Tritis, hingga Alor?”

“Untuk apa? tanyaku lagi.

“Mengantar orang ke Australia, naik perahu,’’ jawabnya.

Begitu mendengar jawaban itu saya langsung ingat kepada fotogaref andal alumni ITB, Om Ahmad Deni Salman, yang punya obsesi membuat dokumentasi dengan ikut naik perahu bersama-sama imigran gelap Asia yang akan ke Australia. Sampai sekarang tidak ada kabar apakah hal itu sudah dilakukan atau tidak?

Dan yang penting lagi, ucapan itu sama persis dengan obrolan di Masjidil Haram dengan seorang jamaah umrah dari Pakistan. Dia sempat bercerita pernah ke Australia dengan menumpang perahu dari pelabuhan ratu, Sukabumi.

‘’Dari Pelabuhan Ratu kami ke timur menuju ke kepulauan Alor di perbatasan NTT dan Australia. Dari sana kemudian baru masuk ke perairan Australia. Lalu mendarat di Darwin....’’

Mengingat semua itu aku hanya diam tercenung. Tapi kemudian tersentak dengan tarikan tangan Hafiz yang mengajaku pergi.

‘’Sudahlah kita pergi ke ‘Masjid Merah’ itu yuk.. Mumpung hari belum terlalu siang.’’ Katanya.

Aku menangguk dan kemudian berjalan pergi meninggalkan rombongan orang lokal yang mengajaku basa-basi berbincang sejenak.

Setelah sampai di luar hotel matahari memang mulai meninggi. Meski begitu sinarnya belum terlalu menyengat. Hanya suara ribut burung bul-bul dan elang yang berkoak-koak di udara dan pohon taman kota.

‘’Ya kita ke sana. Mudah-mudahan ada Taliban,’’ tukasku kepada Hafiz. Dia menjawabnya sambil tersenyum seraya masuk ke mobil pajero hitam yang sudah menungu kami.

“Sampeyan ngerti uwong mau (Kamu tahu orang itu tadi?),’’ tanya Hafiz yang tiba-tiba mengajaku bicara pakai bahasa Jawa. Aku jawab dengan menggeleng.

‘’Dia intel Pakistan,’’ katanya pendek. Aku pun tercekat sejenak. Dan di situ aku baru sadar betapa hebat insting Hafiz yang seorang diplomat. Meski hanya bertemu sekilas, dia bisa menyimpulkan siapa orang yang mengajaku berbincang.

‘’Kamu sadar ngak di awasi. Kamu juga dianggap Taliban ha ha ha. Paling tidak kamu dianggap Taliban dari Jogja!,’’ sambung Hafiz.

Mendengar ledekan itu aku hanya garuk-garuk kepala.

‘’Ya Taliban, I am coming...!”

Petugas mendistribusikan makanan pada sebuah acara berbuka puasa bersama di Lahore.

× Image