Home > Politik

Cara Pak Harto Pilih Menteri: Dari Felling, Informasi Intelejen, Hingga Anti Poligami

Pak Harto tak pernah umbar isyarat ke publik ketika tengah lakukan seleksi para calon menteri anggota kabinetnya.

Sedikit informasi tentang pemilihan calon Wakil Presiden, pada menjelang pertengahan 1982, Pak Yoga juga pernah menceritakan, untuk menghadapi Sidang Umum MPR tahun 1983 khususnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sempat muncul calon nama K.H.Idham Chalid, seorang tokoh yang dinilai memiliki banyak nilai positiv, antara lain tokoh muslim yang lembut dan moderat, berasal dari luar Jawa yaitu Kalimantan Selatan, berpengalaman panjang baik di dalam kabinet maupun Dewan Perwakilan Rakyat. Selain itu pada dia juga sedang menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung.

Namun dalam penjajagan Pak Idham Chalid menyatakan tidak bersedia. Secara halus beliau menyatakan, “Janganlah saya, karena saya beristeri dua. Nanti jadi pembicaraan masyarakat.”

Pada masa itu, memang sedang berhembus kuat di masyarakat masalah poligami bagi tokoh publik, pegawai negeri dan anggota TNI/Polri, yang kemudian mendorong dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1983 tanggal 21 April 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil. Pertimbangan dalam PP 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS antara lain adalah, Pegawai Negeri Sipil wajib memberikan contoh yang baik kepada bawahannya dan menjadi teladan sebagai warga negara yang baik dalam masyarakat, termasuk dalam menyelenggarakan kehidupan berkeluarga.

Beredar rumor pula kala itu, PP No. 10 itu dipicu oleh kecemburuan Ibu Tien Soeharto. Namun pada hemat penulis, PP yang dikenal sebagai larangan poligami itu, dilandasi oleh latar belakang kehidupan masa kecil Soeharto yang kurang bahagia karena masalah rumahtangga orangtuanya. Jauh sebelum dikeluarkannya PP tersebut, di dalam bukunya ANAK DESA, Biografi Presiden Soeharto, yang ditulis oleh O.G. Roeder yang edisi pertamanya terbit pada 1969 dan edisi kedua tahun 1976, Soeharto mengungkapkan alasan mengapa dalam rumahtangga sebaiknya hanya ada satu isteri. Isteri adalah teman yang paling setia.

Dalam buku tadi, Presiden menyebut isterinya sebagai “pembantu saya yang terdekat dan setia”. Sambil tersenyum ia menyatakan, “Hanya ada satu nyonya Soeharto, dan tidak ada lagi yang lainnya. Jika ada, akan timbullah satu pemberontakan yang terbuka dalam rumah tangga Soeharto.”

Pemberontakan dalam rumah tangga akan menjadi penyebab utama ketidakharmonisan dan ketidaktenteraman keluarga. Masalah kehidupan rumahtangga, menurut Ali Moertopo dalam suatu perbincangan, menjadi satu hal penting yang perlu didalami oleh tim intelijen yang diminta Pak Harto untuk meneliti kehidupan seorang calon pejabat tinggi. Jika menjadi pemimpin keluarga atau membina rumahtangga saja tidak mampu, Pak Harto tidak yakin orang tersebut akan mampu membina organisai yang lebih besar, tidak akan mampu mengelola bangsa dan negara.

× Image