Home > Sastra

Chairil Anwar dan Sitor Situmorang: Kawankah Atau Lawankah? (bagian 1)

Hubungan unik antara dua penyair, Chairil Anwar dan Sitor Situmorang

Barangkali waktu juga membuat posisi ‘kejawaraan’ seseorang bisa seolah berubah. Bila sebelumnya kita sepakat bahwa Idrus-lah jawara kesusasteraan Indonesia era Angkatan 45 di sisi prosa, setelah setengah abad lebih dan melihat perkembangan mutakhir, mungkin saja ada di antara kita yang merasa bahwa harus ada pertimbangan baru tentang hal itu. Mungkin saja ada yang merasa harus memasukkan sisi “pengaruhnya hingga hari ini”.

Kalau pertimbangan itu diajukan, tampaknya posisi tersebut akan memunculkan nama Pramoedya Ananta Toer sebagai kandidat. Sementara karya-karya Idrus begitu menyentak di eranya dan sekian dekade setelahnya, karya-karya besarnya mungkin kini kalah dikenal orang dibanding tulisan-tulisan Pram.

Tidak hanya karena secara faktual Pramoedya adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali disebutkan masuk dalam pertimbangan Komite Nobel sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel Susastra. Saking ngetrennya Pram di kalangan generasi pasca-Orde Baru, buku-buku ‘asli’ Pram yang diterbitkan penerbit Hasta Mitra di tahun-tahun 1980-an-1990-an, kini dijual orang laiknya barang antik yang—menyitir syair Iwan Fals--,”harganya selangit”.

× Image