Home > Sejarah

Dari Keris Ken Arok, Cekik, dan Piting, Hingga Senjata Moderen Bernama Survei

Benarkah kita sudah melangkah jauh dari tradisi kekuasaan yang banal?

Sejak saat itu, bahkan semenjak zaman kuna, peradaban kekuasaan negeri ini yang digenggam budaya kekuasaan Jawa di penguasa atau raja dipandang sebagai wakil Tuhan di bumi (atau budaya kekuasaan 'dewa raja') terus lestari.

Para calon penguasa tetap mengikuti alir Ken Arok, Dia membawa keris di mana-mana untuk menyingkirkan siapa pun yang ada di jalan yang merintanginya tanpa ampun.

Maka, layaknya, Ken Arok yang kala itu dianggap titisan dewa Siwa, mereka juga tak segan mempopulerkan dirinya meski dengan sengaja menyingkirkan orang lain demi pecitraan dirinya. Dahulu Arok melakukan dengan menfitnah Kebo Ijo sebagai pemilik keris Empu Gandring yang membunuh raja Tunggul Ametung, kini pun hampir sama, yakni dengan tak lagi memakai keris, tapi memakai alat baru yang namanya survei.

Bahkan pada zaman berikutnya, yakni zaman kesultanan Demak Bintoro, laku banal mengejar kekuasaan dengan menyingkirkan lawan dengan cara tak elok juga dilakukan. Kala itu anak muda dari pedalaman yang bernama Joko Tingkir sengaja membuat huru-hara dengan menyelipkan kerikil pada telinga kerbau yang berada di tengah-tengah alun-alun Demak untuk membuat keributan,

Tujuannya karebet hanya satu agar dirinya yang nanti akan menaklukan kerbau itu mendapat perhatian dari Sultan Demak sehingga bisa masuk ke Istana untuk secara perlahan bisa meniti karier sebagai calon penguasa.

Dan benar saja, ketika Karebet bisa menguasai kerbau itu, maka dia terkenal namanya dan beberapa tahun kemudian karienya cemerlang menjadi panglima perang kerajaan Demaik dan akhirnya menjadi raja, yakni menggantikan nama kampungnya, menjadi mentereng bak wakil Tuhan dengan gelar Suktan Hadiwijaya (Hadi=besar, Wijaya= abadi jaya).

× Image