Home > Politik

Qiraah Tenor Faisal Basri

In memoriam ekonom pembela rakyat, Faisal Basri.

Sepuluhan tahun kemudian kami berjumpa lagi di Jakarta. Kali ini ditautkan oleh semangat sama: kita perlu memanfaatkan sistem politik yang dibuka oleh Reformasi dengan membentuk partai politik. Kami merasa siap menjadi peserta dalam kontestasi demokratis untuk meraih kekuasaan, seperti sejak lama dipraktikkan di negara-negara demokrasi normal.

Dan untuk itu kami juga sepakat: kita punya Amien Rais, yang kala itu sedang di puncak popularitas sebagai tokoh utama penggerak Reformasi, dengan battle cry anti-KKN yang efektif dan disambut hangat oleh publik yang terus meluas. Dalam pandangan kami, Amien Rais harus melanjutkan perjuangannya ke arah yang logis, yaitu membentuk sebuah partai politik, dan tidak cukup hanya terus bergerak di tingkat penyadaran publik.

Fase itu sudah selesai. Jika ia tidak membentuk partai, maka berkah Reformasi hanya akan dimanfaatkan oleh orang-orang lain yang kurang “berhak”; jika bukan termasuk oleh mereka yang menopang sistem lama dan yang selama ini ikut berusaha membendung spirit perubahan yang disuarakan Amien Rais.

Beberapa kelompok dari beragam “garis ideologi” sepakat berharap pada Amien Rais. Dalam ungkapan Nurcholish Madjid, sekaranglah saatnya Amien Rais “takes the lead.” Ia memiliki semua kredensial yang diperlukan untuk memimpin Indonesia. Ia pemimpin Muhammadiyah, akademisi dan intelektual penting, konsisten menyuarakan Reformasi.

Ia, misalnya, pada 1988 menulis makalah panjang dengan judul tegas “Suksesi adalah Suatu Keharusan” atau semacam itu; yang artinya tidak bisa lain kecuali bahwa Presiden Suharto harus mengakhiri kekuasaannya. Dan yang tak kurang penting: pekik perubahan Amien Rais itu disambut hangat oleh kelas menengah dan bawah, elemen-elemen birokrasi, faksi-faksi tentara, dan sebagainya.

Faisal Basri tergabung dalam salah satu kelompok yang ingin mengusung Amien Rais. Setelah melewati jalan berliku — keraguan Amien sendiri untuk membentuk partai baru, “perebutan” dengan partai lama yang ingin menjagokannya, sikap setengah-hatinya untuk keluar dari “kotak Islam” dan membaur dengan para tokoh dan aktifis dari beragam warna — terbentuklah Partai Amanat Nasional (bukan “Partai Amanat Bangsa” seperti rencana semula).

Rangkaian rapat persiapan menghasilkan 9 anggota formatur untuk membentuk kepengurusan perdana PAN. Meski saya tidak termasuk 9 deklarator itu, saya ikut rapat penentuan personel di sebuah kantor perusahaan di Kuningan, dan ikut mengusulkan Faisal Basri sebagai sekjen pertama mendampingi undisputed Ketua Umum Amien Rais.

Sebentar saja terbukti bahwa Faisal Basri terlalu halus untuk menjadi mahluk politik. Ia mengeluhkan banyak hal, dan dengan kritik yang bersahabat menyalahkan saya. “Anda menjebloskan saya ke dalam partai, tapi Anda sendiri tidak mau masuk,” katanya. Saya hanya meringis dan mengulangi dalih bahwa saya wartawan, sebaiknya tidak masuk dalam struktur resmi partai.

× Image