Home > Sastra

Mengenang Sang Arjuna Mencari Cinta: Seperti Daun, Yudhis Runduk Pada Musim

Mengenang Yudhistira Massardi meninggal setelah merayakan ulang tahun ke-70

Namun Yudhis tetap bersemangat karena, dari pengalamannya melakukan road show pembacaan dan pementasan musikalisasi puisi di pelbagai komunitas dan kampus seantero kota di Indonesia yang dilakukannya sejak 2018, masih ada publik yang antusias. Saya mengatakan ikut saja, tapi tidak dapat membantu apa-apa. Sebab, selain kesibukan saya sebagai anggota Lembaga Sensor Film (LSF), pergaulan saya memang sangat jauh dari lembaga-lembaga yang punya cukup dana dan antusias membantu kegiatan sastra.

Kami bersepakat menerbitkan buku kumpulan puisi masing-masing sebanyak 70 judul puisi dalam acara itu. Yudhis, yang setiap hari selalu menulis puisi, sudah punya lebih dari 100 judul, sementara saya baru memiliki belasan judul. Setelah merenung beberapa saat, saya menyampaikan bahwa saya akan menulis 70 puisi tentang Paris karena selama tinggal di Paris pada 1976-1981 hingga sekarang tidak banyak mengabadikan kota itu dalam karya.

Sampai tenggat Oktober 2023, saya baru selesai menulis sekitar 50 judul puisi tentang Paris. Di awal Desember 2023, saya mendapat tugas dari LSF untuk memenuhi undangan lembaga serupa di Paris. Walaupun hanya tiga malam di sana, saya berhasil menggenapinya menjadi 70 judul puisi.

Sementara itu, sejak September 2023, Yudhis melakukan Safari Sastra Yudhistira (SSY) ke berbagai kota di Jawa Timur bersama Siska dan musikus Trio Gayatri. Lalu ia berlanjut dengan SSY Puisi Gugat Politisi bersama Renny Djajoesman dan kawan-kawan di Jawa Barat, Jakarta, dan Yogyakarta.

Beberapa hari sebelum acara perayaan 70 tahun kami, kondisi Yudhis memburuk. Saya sudah menyarankan acara itu dibatalkan, tapi Yudhis masih bersemangat tampil. Akhirnya, dalam kondisi kesehatan yang minimal, Yudhis muncul bersama saya di auditorium Galeri Indonesia Kaya pada 28 Februari 2024. Saya meluncurkan kumpulan puisi Dari Paris untuk Cinta, sementara Yudhis merilis Akhirnya Kita Seperti Dedaun. “Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga pada tanggal hari ini, mencapai usia tepat 70 tahun,” tutur Yudhis dalam sambutannya disertai tangis yang tertahan. Lalu ia membacakan puisi “Akhirnya Kita Seperti Dedaun” sambil duduk dan menahan emosi. Sedangkan saya membacakan “Au Premier Jour” dan “Cafe”.

•••

SAYA dan Yudhis lahir di Subang, Jawa Barat, Ahad, 28 Februari 1954, sebagai anak kelima dan keenam dari 12 bersaudara. Bapak kami, Mas Sardi, konon pernah bekerja sebagai mekanik di Bandung. Emak saya, Mukinah Massardi, berasal dari Maos, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka bertemu di Bandung, menikah, lalu membuka bengkel sepeda di Pegaden Baru, kota kecil di jalur pantai utara yang memiliki stasiun kereta api. Di jalur kereta arah Cirebon, Jawa Barat, itulah Bapak punya banyak kerabat dan saudara, yang sering saya kunjungi ketika bertualang sendirian naik gerbong kereta api barang secara gratis.

Orang tua kami lalu pindah ke Subang, Jawa Barat, dan membuka bengkel sepeda juga, yang pertama di kota itu. Bapak tidak hanya memperbaiki, tapi juga membuat sepeda. Adapun Emak membantu Bapak dengan membuka warung di sudut bengkel.

Sebagai anak kembar, sejak bersekolah di taman kanak-kanak, kami selalu bersama dan berada di kelas yang sama. Namun, ketika duduk di kelas II Sekolah Rakyat Negeri I, Subang, Yudhis dinyatakan tidak naik kelas. Penyebabnya bukan nilai rapornya, melainkan guru dan kepala sekolah sengaja memisahkan kami agar tidak selalu tertukar. Yudhis “marah” dan mungkin menyimpan “dendam” sampai dewasa. Walau perbedaan umur kami hanya lima menit, ketertinggalan setahun itu ternyata berdampak cukup panjang dalam jalur hidup dan takdir kami. Saya selalu selangkah lebih dulu, hampir dalam segala hal. Misalnya saya hijrah ke Jakarta lebih dulu. Tulisan saya pun dimuat di media massa lebih dulu, walau dalam hal mengarang sesungguhnya Yudhis lebih dulu ketimbang saya.

× Image