Home > Budaya

Mitos Warna, Belajar dari Sukses Pita Limjaroenrat Memenangkaan Pemilu Thailand

Benarkah mitos warna mempengaruhi politik?

Thaksin dan Politik Warna

Meski tidak sedikit yang mempertahankan kepercayaan terhadap mitos warna, segalanya berubah sejak 2006 -- tepatnya ketika PM Thaksin Shinawattra digulingkan dalam kudea militer. Pendukung Thaksin yang mengenakan kaos merah menggelar aksi protes.

Bangkok menjadi lautan merah. Pendukung Thaksin, yang notabene berasal dari petani di pedesaan di Thailand utara, tidak lagi mengenakan kaos merah pada hari Minggu, tapi setiap hari. Merah menjadi warna politik.

Dua tahun kemudian muncul gerakan anti-Thaksin, terdiri dari kalangan intelektual dan kelas menengah perkotaan, yang mengorganisir diri dengan kaos warna kuning.

Desember 2008 kelompok kaos kuning (Yellow Shirts) menjadi berita utama ketika mereka menduduki bandara untuk memaksa aliansi pro-Thaksin turun dari kekuasaannya. Sejak itu, kaos merah dan kuning mewarnai perjalanan politik Thailand.

Merah dan kuning menyingkirkan warna lain yang menghiasi hari-hari Thailand, serta memantik kebingungan banyak orang. Wisatawan harus berkonsultasi dengan pegawai hotel tentang warna pakaian yang harus dikenakan agar terhindar dari tuduhan berpihak ke salah satu kelompok.

Sejumlah situs pariwisata Thailand terpaksa mengeluarkan panduan berbusana bagi orang asing. Fans Manchester United, Liverpool, dan Arsenal, tidak lagi mengenakan kostum tim kesayangan mereka karena khawatir dianggap pro-Thaksin.

Menariknya, orang Thailand kerap menghindari konflik fisik terbuka di jalan-jalan. Ini terlihat dari pilihan warna pakaian setiap hari. Mereka lebih memilih warna yang tak merepresentasikan politik, yaitu kuning dan merah. Sebagai gantinya, mereka memilih biru dan pink sebagai warna favorit.

× Image