Home > Sejarah

Memori Lestari Eksitensi Rasa Kuliner Jakarta

Pada akhirnya, dunia kuliner ibarat panggilan untuk berkesenian, bukan karena panggilan bisnis atau duit.
Gado-Gado Cikini yang terkenal.
Gado-Gado Cikini yang terkenal.

Oleh: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute.

Kadang saya suka ngikutin dorongan hati napak tilas beberapa tempat yang tertanam di memori saya sejak kecil. Minggu lalu, entah kenapa pengen gitu aja jalan jalan menyusuri beberapa lokasi di Jakarta Pusat.

Yang terbesit tiba-tiba di pikiran saya, mungkin karena dasarnya doyan makan kali ya, tempat-tempat kuliner terkenal di Jakarta. Apa yang menarik minat saya secara tiba-tiba? Setiap tempat kuliner terkenal selalu identik dengan popularitas si pemiliknya. Dan juga, ini yang penting tapi sering diabaikan, tempat atau lokasi para pedagang itu menyajikan menu kulinernya.

Bakmi Gondangdia, Bakmi Gajah Mada Kota, Warung Pak Amat Kwitang, Soto Makruf Taman Ismail Marzuki Gudeg Warung Jogja Tebet Barat, Kambing Guling Haji Iskak, Lumpia Oen jalan Ratu,Semarang. RM Adem Ayem dan Kusumasari, Solo, Ayam Goreng Suharti, Gudeg Bu Citro, Gado-Gado Cikini, Sate Habib, dan sebagainya dan seterusnya. Bisa teman-teman tambahin sendiri.

Apa resep mereka berjaya bahkan hingga sekarang, ketika pengelolaannya sudah beralih ke generasi anak atau cucu? Banyak teori tentang itu. Tapi rasanya, mereka berjaya di bisnis kuliner dan kemudian meleganda itu, pemantik awalnya bukan pertimbangan bisnis atau keuangan.

Pertama, mereka sadar diri bahwa dunia kuliner ibarat panggilan untuk berkesenian, bukan karena panggilan bisnis. Apalagi nyari duit.

Kedua, entah dorongan seperti apa, biasanya ketika sudah terkenal, rumah makan itu terkenal, seakan nama si pemilik dan lokasi tempatnya, kayak ada persenyawaan. Nggak terpisah satu sama lain. Antara orangnya dan lokasi dia berjualan. Betul nggak?

Saya nggak tahu ya gimana para sesepuh ketika menentukan lokasi tempat mengawali dagang menu kuliner unggulannya, sehingga keterkenalan tempat dan si pemilik nggak terpisah satu sama lain.

Orang-orang jaman sekarang, kalau bikin cafe, resto ini dan resto itu, atau mau buka toko, biasanya memulainya dengan hal-hal yang njelimet.

Misal, begitu survei tempat atau lokasi. Langsung yang dilakukan apa coba?

Biasanya pertama untung ruginya sebuah tempat, artinya lokasinya strategis apa nggak, berapa sewanya, kalau harus kredit dulu, berapa utangnya, terus nyicil utangnya berapa setiap bulannya, total pendapatannya berapa sebulan, terus berapa orang tamu perkiraan per harinya,pemasukan dari setipa tamu berapa, masuk nggak untungnya setelah dipotong buat bayar utang, berapa kursinya berapa yang sesuai dengan luas tempatnya, gaji karyawan berapa. Ttiik impasnya berapa. Wah pokoknya njelimet deh, padahal mulai bisnisnya aja belum.

Biasanya, kalau belum belum sudah kayak gitu, Insya Allah pasti gagal total. Waktu ke Solo, saya sempat ngobrol2 dengan kenalan sepupu2 saya yang kebetulan beberapa di antaranya bergerak di resto-resto yang saya sebut tadi di Solo.

Banyak resep dan cerita dari masing-masing, dan tentunya nggak sama. Tapi ketika saya jalan-jalan ke beberapa tempat tua di Jakarta Pusat tadi. Sontak teringat kembali obrolan tersebut.

Yang menarik itu resep salah satu pengelola yang kebetulan sekarang ahli waris generasi anak. "Kalau survei tempat atau lokasi, nggak usah njelimet dulu di urusan bisnisnya. Datangi aja tempat lokasinya, terus kamu nongkrong aja di situ. Nyantai aja. Amati lalu lalang orang orang di tempat itu. Setelah itu coba lagi besok seperti itu, terus pulang. Besoknya ulangi lagi."

Mulanya heran juga ada cara aneh kayak gitu. Menurut dia, nanti kamu bisa tahu begitu saja, Ibarat kabut di depan mata, tiba-tiba hilang. Langsung melihat apa yang seharusnya kamu lihat. Bukan saja tahu seperti apa tempat itu sesungguhnya. Tapi kamu juga tahu apa yang diinginkan tempat itu?

Hmm aneh juga pikir saya waktu itu. "Kalau antara keinginan tempat itu dan keinginanku waktu itu nggak sinkron, pasti nggak akan berhasil," kata teman saya itu. Kalaua ada titik temu, sama saja sudah megang ekornya, Tinggal pegang erat erat dan jangan sampai lepas.

Meski ini terkait ranah bisnis, setelah obrolan dan jalan2 ke tempat tempat tua tadi, saya malah mikir kenapa saya yang semula bergelut di kajian hubungan internasional, beberapa tahun lalu begitu gandrung kajian geopolitik.

Rupanya salah satu aspek geopolitik selain geoekonomi dan letak geografis, aspek geo spiritualnya juga nggak kalah penting. Mengetahui seperti apa karakteristik khas suatu tempat atau lokasi, dan apa yang diiinginkan tempat itu, itulah yang namanya kesadaran geospiritual.

Tanpa disadari,beberapa tokoh sohor di tanah air, seringkali melekat dengan tempat tinggalnya. Atau tempatnya berkiprah. Terlepas di bidang apapun mereka berkiprah. Sejatinya mereka itu sadar geospiritual. Otomatis orang orang macam ini, sebenarnya sudah di rel untuk menuju kesadaran geopolitik. Mengetahui apa kekuatan dan energi yang terkandung pada suatu tempat atau lokasi.

Bisa sebuah jalan, sebuah kota, atau bahkan negara.

× Image