Home > Budaya

Christiaan Snouck Hurgronje dan de Javu Kuah Beulangong

Sejarah dan kisah gulai Aceh

Lain lagi dengan kisah Rusli Daud yang kini menetap di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Ia memberi sebuah perspektif tentang kisah kuah beulangong. Dahulu saat masih SMA di Banda Aceh di awal 70-an, dia sering diminta orang tuanya untuk membeli kari kambing khas Pidie di rumah makan "Wahab" yang berada di belakang Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh.

Orang tua Rusli Daud memang berasal dari Pidie, kerap memilih kari kambing khas tanah leluhurnya. "Gulai kambing Pidie lebih kental. Kalau Aceh Besar campurannya nangka muda, orang Pidie lebih menyukai labu air. Kuah karinya juga gurih karena campuran santan," papar pensiunan ASN yang dulu pernah berdinas di Timor-Timur, kini menjadi Republik Timor Leste.

Ada saudara saya, Sofyan Hasan yang menetap di Cileduk, Kota Tangerang, sekali waktu saat sunat rasul cucunya, ia menyajikan kuah beulangong untuk para tetamu. "Bumbunya dikirim dari Banda Aceh. Pagi dari sana, sore sudah tiba disini. Mau lebih mudah lagi di daerah saya tinggal ada yang jual jual juga," urainya.

Soal proteksi produk juga disinggung Cut Ratna. Ia meminta kelompok pecinta "kuah beulangong" atau Pemerintah Aceh Besar untuk melakukan proteksi dengan mendaftar "identitas" kuah beulangong ke UNESCO.

Ia cemas, bisa saja kuah beulangong satu hari nanti diklaim milik Malaysia. "Di sana banyak etnis India. Bumbu-bumbunya juga rada mirip. Bisa saja warisan budaya kita diklaim punya mereka juga," ujarnya dengan mimik serius.

Kuah beulangong bukan cuma nikmat ketika disantap tapi perlu juga dipikirkan "masa depannya". Ini tugas yang harus diemban pecinta kuliner kuah beulangong. Dejavu kuah beulangong.

× Image