Home > Budaya

Dari Guruan Telor Hingga Eksodus ke Kuala Lumpur: Aceh Tak Ada Pesta Perayaan Tahun Baru?

Di Aceh perayaan tahun baru sepi, warganya memilih pesiar ke luar kota

Bagaimana cara anak-anak muda dan mahasiswa di Aceh dalam menyambut tahun baru pada masa tersebut? Perayaan hiburan tahun baru tetap berlangsung dan ramai, biasanya warga berlibur ke pantai-pantai di sekitaran Banda Aceh.

Istilah mereka "camping" atau berkemah bersama pada malam hari sambil menikmati angin laut dan deburan ombak sambil bernyanyi dan bergembira. Besok harinya agenda mereka tutup dengan makan siang bersama menyantap kuah beulangoeng.

Tragisnya ketika eskalasi politik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan TNI/Polri meningkat sekitar 1990-an, kegiatan berkemah di pantai pada malam tahun baru tidak terlihat lagi.

Kondisi Aceh yang tidak aman dan dihantui ketakutan warga berlangsung hingga peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004. Sesudah bencana kolosal tersebut Aceh lebih terbuka, saat relawan NGO mancanegara berdatangan ke negeri yang berjulukan Serambi Mekkah.

Atmosfir keakraban sangat terasa saat proses rehab dan rekon yang berlangsung antara 2005 hingga 2009. Tamu-tamu hotel di Aceh kebanyakan berkembangsaan asing.

Pemerintah setempat tampaknya sedikit menutup mata mengizinkan warga luar ini untuk berpesta mengurangi kejenuhan mereka di tengah proses pemulihan Aceh.

Selepas orang asing pergi pada tahun 2010, Pemerintah Aceh mulai bersikap tegas lagi pada kegiatan pesta tahun baru. Mereka melibatkan "polisi syariah" untuk mengawasinya. Beleid pemerintah Aceh, ketegasan mereka merunut pada pelaksanaan syariat Islam yang termaktub dalam UU Nomor 11 Tahun 2006.

Secara eksplisit pelaksanaan syariat Islam di Aceh lahir karena adanya keinginan masyarakat yang menjunjung nilai-nilai Islam yang kemudian pelaksanaannya diatur ke dalam Qanun-Qanun yang berisi sejumlah aturan kehidupan masyarakat yang diharmonisasikan dengan kaidah-kaidah hukum Islam meski tidak secara menyeluruh.

× Image