Home > Politik

Konstitusi Punya DNA Otoritarianisme dan Rakyat Terobsesi Paham Satrio Piningit

Maka konstitusi kini butuh pembaruan karena sejak 1998 sampai kini sudah muncul ide dan suasana kenegaraan yang baru.

Bagi rakyat Indonesia kerawanan akan munculnya suasana kekuasaan atau pemeritahan yang otoriter sangat dimungkinkan. Hal ini karena sebagian besar rakyat masih terbelenggu pada paham yang berbasis budaya Jawa, yakni ‘manunggaling kawula gusti’ (menyatunya rakyat dengan raja/penguasa). Selain itu rakyat kini juga masih terbelenggu paham munggu datangnya ‘satrio piningit’ untuk menegakkan keadilan, kesejahteran, hingga perlindungan rakyat, dan berbagai nilai ideal lainnya.

‘’Maka wajar apabila kini ada pernyataan dari pakar hukum tata negara Indonesia itu memang berbeda dengan Inggris. Indonesia adalah negara republik namun dilaksanakan dengan sistem kerajaan. Sedangkan Inggris adalah negara Kerajaan namun dipraktikkan dengan sistem republik,’’ tandas Abdul Kholik.

Sementara anggota DPD dan pakar hukum tata negara, Prof. Dr. H. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H menyoroti keadaan tidak berlangsungnya sistem ‘chek and balances’ (penyimbang) dalam praktik ketatanegaraan Indonesia. Bahkan banyak elite yang menyatakan oposisi itu tidak dikenal dalam kontitusi Indonesia.

‘’Padahal tidak begitu. Sebab, mekanisme ‘chek and balances’ itu penting sekali dalam sistem ketatengaraan kita. Okeylah mereka tidak suka pada kata ‘oposisi’, tapi kita pakai sebutan penyimbang saja. Lagi pula adanya penyimbang terhadap praktik kekuasaan itu sunatullah karena kekuasaan itu harus diawasi karena memang selalu dipergilirkan. Kekuasaan yang tidak diawasi atau ada pihak yang mengimbangi maka hanya akan memunculkan kerusakan, bahkan kehancuran dari sebuah tatanan negara,’’ tegas Jimly Asshiddiqie yang juga guru besar FH UI.

× Image