Home > Politik

Debat Capres di Mata Orang Aceh: Apa Kabar Peradaban HAM, dan KKR Nasional?

Tiga Capes melupakan laporan komisi kebenaran dan rekonsilasi (KKR) Aceh

Setiap pengelola negara dipaksa malu untuk melanggar HAM di masa depan karena semuanya akan diungkapkan secara utuh ke publik luas. Kesadaran kolektif adalah titik akhir yang ingin dicapai dari pengungkapan kebenaran utuh dari setiap peristiwa pelanggaran HAM. Ini langkah epistemik terpenting membangun peradaban HAM di negara ini. Tentu, pengungkapan kebenaran harus ditindaklanjuti jadi materi edukasi di dunia pendidikan dan media massa.

Itulah yang dilakukan di Aceh dan Timor Leste. Meskipun belum semua peritiswa pelanggaran HAM berhasil didokumentasikan dan belum semua sisi dari satu peristiwa berhasil diungkapkan, setidaknya KKR Aceh dan KKP Timor Leste melakukan pekerjaan penting pada taraf kesadaran epistemik dalam penegakan HAM.

Lagian, ketetapan MPR No. V Tahun 2000 sudah menggariskan kewajiban negara untuk melakukan pengungkapan pelanggaran HAM masa lampau, membentuk KKR, dan melakukan langkah-langkah lanjutan, termasuk penegakan hukum dan pemulihan pada para korban.

Indonesia pernah memilih jalan ini, melalui UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tragisnya, Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut atas dasar Pasal 27 dinilai tidak sesuai UUD 1945.

Dari tiga Capres, hanya Ganjar yang menyatakan penting mengusulkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Ini juga satu-satunya langkah strategis yang sempat disinggung sejauh menyangkut pelanggaran HAM berat di masa lalu dalam debat pertama Capres 2024.

Kedua, ketiga Capres tidak menyadari bahwa pemulihan korban dan keluarga korban selama ini hanya bersifat bantuan sosial. Setelah pengungkapan kebenaran dilakukan dengan sepenuh hati, kelanjutannya adalah pemulihan korban dan keluarga korban. Pemerintah biasanya memandang remeh korban, sehingga bentuk-bentuk pemulihan yang ditawarkan kebanyakan bantuan sosial jangka pendek.

Ke tiga, tidak ada Capres yang berkomitmen pada perbaikan penyelenggaraan pengadilan HAM. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan pengadilan HAM di Indonesia berdasarkan kajiannya atas praktik-praktik selama ini memperlihatkan ketidakjelasan metodologi hukum dalam proses peradilannya. Sehingga pengadilan HAM seringkali gagal menghadirkan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Seringkali adanya perbedaan pandangan antara Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai penyidik dalam hal persyaratan formil maupun kesimpulan ada tidaknya pelanggaran HAM berat, bisa sangat mengganggu proses pengadilam HAM kita. Menciptakan kemacetan dari tahapan penyelidikan menuju ke penyidikan.

Bagi Komnas HAM, hukum acara yang ada tidak mungkin memadai untuk mengungkapkan, membawa tersangka apalagi membuktikan bahwa terdakwa bertanggungjawab terhadap terjadinya pelanggaran HAM yang berat.

Walhasil, bila ketiga Capres ingin memperbaiki tatakelola negara di masa depan memastikan pelanggaran HAM berat tak terulangi lagi, bukankah mereka harus menggagas kembali KKR Nasional, sistem pemulihan korban yang efektif berjangka panjang, dan perbaikan pengadilan HAM?

Tentu saja, jika perbincangan HAM dalam debat Capres benar-benar sampai ke hati dan diniatkan jadi agenda penting nasional setelah mereka berkuasa nantinya.

× Image