Home > Politik

Politik Dinasti Menjanjikan Demokrasi, Logiskah?

cita-cita Indonesia adalah menuju negara kesejahteraan
Paku Buwono X hendak menziarahi kubur Sayyid Alaydrus Luar Batang di Batavia, Februari 1937. 
Paku Buwono X hendak menziarahi kubur Sayyid Alaydrus Luar Batang di Batavia, Februari 1937.

Oleh: Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis

85 persen pemilih di Indonesia tidak pernah menagih janji politisi yang disampaikan saat kampanye. Demikian disampaikan sebuah survei yang dilaksanakan Universitas Gajah Mada (UGM). Apakah karena hal ini, para politisi merasa bebas berjanji tanpa perlu memikirkan kemungkinan janji-janji mereka bisa atau mustahil dilaksanakan setelah terpilih?

Lagian, survei Voxpol menemukan sebagian besar pemilih Indonesia tidak mempertimbangkan janji-janji politik dalam menentukan pilihan. Hanya 18.3 persen pemilih yang tertarik dengan janji politik. Itupun hanya 16,6 persen masyarakat yang menagih janji politik kampanye setelah kandidat memenangkan pemilihan.

Calon presiden, calon anggota legislatif, dan calon kepala daerah di Indonesia hanya perlu memikirkan satu hal, lakukan segalanya untuk menang. Kekuasaan setelah menang akan dijalankan dengan cara-cara pragmatis tukar tambah transaksional untuk mencapai tujuan-tujuan baru yang tidak ada hubungannya dengan gagasan-gagasan yang pernah diucapkan selama masa kampanye.

Jokowi dan presiden Indonesia hasil Pemilu 2024 tidak perlu malu dan terbebani secara moral jika tak merealisasikan janji-janji politik. Toh, sebagian besar pemilih menilai janji-janji politik memang tidak untuk dilaksanakan, sehingga tidak perlu ditagih. Cukup bagus, jika janji politik mampu menarik perhatian publik, lalu diperbincangkan penuh gairah di kalangan para tim sukses (Timses).

× Image