Rakyat MIskin dan Tertindas Masih Perlu Menunggu Datangnya Ratu Adil?
Namun, meski belum pernah 'nyata-nyata' datang,sosok Ratu Adil tetap dirindukan.Lalu,benarkah Ratu Adil itu justru merupakan ekspresi dari impian hidup sejahtera dari rakyat kecil yang hidupnya tertindas?
''Sebentar lagi Ratu Adil akan datang!'' Entah mengapa di sela-sela hiruk-pikuk kampanye pemilihan presiden tiba-tiba ungkapan itu muncul kembali. Di berbagai media sosial 'gosip' itu meluas. Berbagai buku bertema Ratu Adil bermunculan di toko-toko buku, mulai dari yang sifatnya kajian ilmiah hingga bergaya sajian sastra seperti novel. Mitos Ratu Adil terus menjadi bayang-bayang yang bergentayangan di benak publik.
''Sudahlah Ratu Adil tak ada. Dia tak akan datang. Lagi pula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil,'' tutur mendiang budayawan WS Rendra dalam banyak forum perbincangan. Impian akan datangnya Ratu Adil, kata dia, merupakan impian yang muncul akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan di masyarakat yang menghilang. Suasana terasa sumpek karena hanya berisi keculasan. Budaya dan sistem sosial terasa tak berguna karena hanya menyajian kerendahan selera. Zaman masuk dalam situasi paradoks atau Kaliyuga.
*****
Di tengah impitan zaman itu muncullah sosok pemimpin yang memerankan dirinya layaknya juru selamat, Imam Mahdi, atau Mesiah. Klaim yang paling lazim dikenal publik adalah adanya sosok seorang Ratu Adil. Sosok ini datang dari 'negeri antah berantah' dan tak jelas benar apa rekan jejaknya, tapi anehnya rakyat secara luas percaya tanpa perlu sibuk menelisiknya.
Sejarawan Universitas Indonesia, Mohammad Iskandar, mengatakan bila mitos Ratu Adil sampai sekarang masih terus eksis, itu jelas bukanlah hal yang aneh. Sebab, di samping kesengsaraan rakyat masih meluas, kepercayaan akan ada sosok pemimpin yang menjadi 'juru selamat' itu sudah ada semenjak dahulu kala. Bukan hanya itu, kepercayaan terhadap sosok pemimpin yang seperti ini sudah semenjak ratusan lalu hampir merata ada di semua wilayah.
''Di setiap wilayah (terutama di Jawa Raya—Red) hampir semua punya sosok Ratu Adil meski berbeda-beda ekspresinya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur selalu yang menjadi aktor itu adalah sosok yang berasal dari kalangan priayi atau bangsawan. Tapi kalau wilayah Jawa Barat, terutama wilayah Priangan, Banten, dan Bogor, dari kalangan petani sendiri. Perbedaan ini terjadi karena struktur masyarakatnya memang berbeda,'' kata Iskandar.
Namun, lanjut Iskandar, pada masa lalu sebenarnya munculnya gerakan sosial yang bernama Ratu Adil juga tak murni ekspresi masyarakat itu sendiri. Kemunculan sosok tersebut ternyata sebagian besar merupakan bentukan pemerintah kolonial. Menurutnya, pembentukan sosok pemimpin gerakan sosial dengan ekspresi ala Ratu Adil (Mesiah) juga karena dibentuk atau 'ditiup-tiup' (rekayasa--Red) oleh kolonial Belanda.
''Ini tampak jelas bila melihat kemunculan sosok Ratu Adil yang begitu marak pada abad ke-19. Saat itu, suasana 'Islamofobia' sudah muncul secara kuat. Setiap ada orang yang berkumpul di masjid langsung dituduh akan berontak. Setiap kali muncul pemimpin Islam yang karismatik, maka dengan gampang dia disebut Ratu Adil. Ini terlihat jelas bila mengacu pemberitaan di koran, birokrasi, bahkan ruang parlemen di Belanda yang saat itu ada. Jadi, memang kental suasana 'Islamofobia' itu,'' kata Iskandar.